Syarat Diterimanya Ibadah

Posted by abi faiz | 7:38 AM | | 0 comments »

Syarat Diterimanya Ibadah
Penulis: Sofyan Chalid bin Idham Ruray
حفظه الله تعالى وغفر له ولوالديه ولجميع المسلمين

Sesungguhnya kemuliaan manusia dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta'ala bukanlah pada kemanusiaan itu sendiri, melainkan karena ibadahnya kapada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karenanya orang-orang kafir tidak ada kemuliaan mereka sedikit pun dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan merekalah makhluk yang paling hina dan paling rendah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrikin (lainnya) (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk”. (al-Bayyinah:6).

“Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. (al-Furqon:44).

Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifatkan orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, sebagai makhluk terbaik, dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh mereka itulah sebaik-baik makhluk”. (al-Bayyinah:7).

Demikianlah diantara bentuk urgensinya pemurnian ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Namun yang juga tak kalah penting untuk dipahami adalah makna ibadah itu sendiri serta syarat diterimanya ibadah, karena tidaklah sembarang ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala hanyalah ibadah yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh-Nya.


Makna Ibadah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan (al-‘Ubudiyyyah, hal. 44) bahwa makna ibadah adalah:

اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة

“Satu nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala, baik itu perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (bathin) maupun yang nampak (zhahir)”.

Kemudian Beliau mencontohkan amalan-amalan zhahir seperti, “sholat, zakat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad terhadap orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir, budak, baik manusia maupun hewan, berdo’a, dzikir, membaca al-Qur’an dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah”.

Dan amalan-amalan bathin seperti, “cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, senantiasa kembali (tobat) kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, sabar dengan hukum-Nya, bersyukur dengan ni’mat-ni’mat-Nya, ridho dengan ketetapan-Nya, bertawakkal kepada-Nya, berharap rahmat-Nya, takut dari adzab-Nya dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala”.
Jadi, makna ibadah dalam Islam mencakup seluruh bentuk kebaikan yang harus diamalkan oleh manusia pada semua sisi kehidupannya.


Syarat Diterimanya Ibadah

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam firman-Nya:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا

“(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya” (Al-Mulk:2).

Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Makna ayat ini adalah, bahwasannya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan makhluk-makhluk dari sesuatu yang tadinya tidak ada (kemudian menjadi ada) untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang paling baik amalannya”. (Tafsir Ibnu Katsir 8/176).

Adapun yang dimaksud dengan amalan yang paling baik sebagaimana kata al-Imam Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah adalah, “amalan yang paling ikhlas dan paling benar”, orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali apakah yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar?” Beliau menjelaskan, “Sesungguhnya amalan jika telah ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala), demikian sebaliknya, jika amalan tersebut telah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala) sampai menjadi ikhlas dan benar. Sedangkan yang dimaksud dengan amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan yang dimaksud dengan amalan yang benar adalah jika dilakukan sesuai Sunnah (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam)”. (Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 451-452).

Juga dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya.” (Al-Kahfi:110)

Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya, yaitu pahala dan balasannya yang baik, maka hendaklah dia beramal shalih, yaitu amalan yang sesuai syari’at Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan janganlah dia berbuat syirik dalam beribadah kepada Robbnya dengan sesuatu apapun juga, yaitu hendaklah (ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja tiada sekutu bagi-Nya. Dua hal ini (amal sesuai syari’at dan ikhlas) merupakan dua rukun amal yang diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai syari’at Rasulullah Subhanahu wa Ta'ala”. (Tafsir Ibnu Katsir 5/205).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Keduanya merupakan dua pokok terkumpulnya agama, yaitu kita tidak boleh beribadah kecuali kepada Allah Ta’ala dan kita beribadah kepada-Nya dengan apa yang disyari’atkan oleh-Nya, tidak dengan bid’ah-bid’ah”. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim hal. 451).

Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa syarat diterimanya ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah:

Pertama, ikhlas, yaitu beribadah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kedua, mutaba’ah, yaitu sesuai sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam.

Kedua syarat ini sesungguhnya merupakan pokok keislaman, yaitu makna dan konsekuensi dua kalimat syahadat; Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. Karena syahadat Laa ilaaha illallah menuntut kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hanya karena-Nya pula, sedang syahadat Muhammadur Rasulullah menuntut kita untuk meneladani Beliau shallallahu'alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah. Itulah sebabnya kenapa dua kalimat ini meski terdiri dari dua bagian tetapi dijadikan dalam satu rukun; karena kedua syarat tersebut tidak boleh terpisah satu dengan yang lainnya (lihat Syarhu Ushulil Iman, karya Ays-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah).

Maka wajib bagi kita untuk beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah, yaitu dengan cara menghindari perkara-perkara yang dapat merusak kedua syarat tersebut.

Ikhlas perusaknya adalah riya’, yaitu beramal bukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi karena ingin dipertontonkan kepada manusia. Padahal amalan manusia tidak akan diterima jika tidak ikhlas kerena Allah semata. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang (mendapatkan balasan) sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni mendapatkan balasan kebaikan sesuai niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan”. (Muttafaqun ‘Alaihi dari Amirul Mu’minin Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu).

Riya’ dalam beramal juga termasuk kategori syirik kecil yang perkaranya amat halus dan samar, sehingga seringkali merusak amalan seseorang tanpa disadarinya. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam sangat khawatir penyakit riya’ ini akan menimpa manusia-manusia terbaik di zaman Beliau, yakni para Sahabat radhiyallahu’anhum, maka tentu kitalah sesungguhnya yang lebih layak untuk takut dari penyakit riya’ dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para Sahabat bertanya, “apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!”. (HR. Ahmad, no. 23680, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32).

Betapa samarnya dan betapa bahayanya perbuatan syirik kecil (riya’) ini, sehingga tidak ada tempat bagi kita untuk selamat darinya selain kita berusaha senantiasa menjaga niat kita dan meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam membimbing para Sahabat radhiyallahu’anhum untuk membaca do’a:

اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا أعلم

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu yang aku ketahui dan aku memohon ampun kepadamu (dari menyukutukan-Mu) yang tidak aku ketahui”. (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 716, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Al-Adabil Mufrad, no. 266).

Adapun perusak mutaba’ah adalah berbuat bid’ah dalam agama, yaitu mengada-adakan suatu perkara baru dalam agama (bukan dalam masalah dunia), atau mengamalkan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Amalan bid’ah tertolak, tidak akan sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan inilah sejelek-jelek perkara, dan setiap bid’ah pasti sesat, sebagaimana penjelasan Nabi yang mulia shallallahu'alaihi wa sallam dalam beberapa hadits berikut ini:

1. Hadits Aisyah radhyallahu'anha, bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد

“Barang siapa yang mengada-ngadakan perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan daripadanya maka ia tertolak.” (Muttafaqun ‘alaihi).

2. Hadits Aisyah radhiyallahu'anha, bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang melakukan amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 4590).

3. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu yang mengisahkan khutbah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shallallahu’alaihi wa sallam) dan seburuk-buruk urusan adalah perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu sesat.” (HR. Muslim no. 2042).

4. Hadits al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak (dalam agama), maka wajib bagi kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4609, Tirmidzy no. 2677).

Setelah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita bahwa semua perkara baru dalam agama yang tidak bersandar kepada dalil syar’i adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, masihkah pantas bagi kita beramal hanya karena mengikuti seorang tokoh atau mengikuti kebanyakan orang!? Dan masihkah layak kita berpendapat ada bid’ah yang baik (hasanah)!?

Maka di sinilah pentingnya ilmu sebelum beribadah kepada Allah Ta’ala. Bahwa ibadah tidak boleh sekedar semangat, tetapi harus berlandaskan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh generasi awal ummat Islam. Wallohul Muwaffiq.

Nasihat Kepada Suami Istri

Posted by abi faiz | 7:33 AM | | 0 comments »

Dalam Labuhan Lembutnya Kasihmu
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein

Suami adalah nahkoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah ta`ala telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).

الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ

”Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita….” (An-Nisa: 34)
Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta`ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam:

اَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ

“Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Dan sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظاًّ غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ

“Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)

Dalam tanzil-Nya, Allah Subhanahu wa Ta`ala juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah Ta`ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”

Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir: “(Termasuk cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya pun kembali ke rumah. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat ‘Isya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Demikian yang diperbuat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً

“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: “Ayat Allah Ta`ala:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma`ruf) meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma`ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:

خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ

karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)

Di sisi lain, beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya Aisyah:

عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ

“Hendaklah engkau bersikap lembut .” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

Dan beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)

وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ

“Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2593)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya.

Al-Qadhi berkata: “Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16/145)

Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang suami ialah bila ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau dengan istrinya. Hal ini dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. ‘Aisyah radhiallahu anha menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan kekasihnya yang mulia. Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya:

“Majulah kalian (jalan duluan)”. Maka mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada ‘Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing):

“Ayo, kita berlomba lari”. Kata Aisyah: “Akupun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau”. Waktupun berlalu. Ketika Aisyah telah gemuk, Rasulullah kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama ‘Aisyah. Beliau bersabda kepada para shahabatnya: “Majulah kalian”. Maka mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku: “Ayo, kita berlomba lari”. Kata ‘Aisyah: “Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku”. Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata: “Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, red).” (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil menshahihkan sanad hadits ini dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286).

Allah Ta`ala Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah.

المرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا, وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan.”

Demikian disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468). Dan hadits ini diberi judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma`an Nisa (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).

Rasul yang mulia, shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda:

وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ, فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ, وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

“Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا

“Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah berkata: “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (فَاسْتَوْصُوْا) maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah.”

Beliau melanjutkan: “Dan dalam sabda Nabi (بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ) seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya.” (Fathul Bari, 9/306)

Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya. Di dalam hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan: “Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya”. Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)

Dengan adanya tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan keluarganya yang lain. Sebagaimana istrinya pun diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kalian.” (Ar-Rum: 21)

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (Al-A`raf: 189)

Demikian kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi. Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.

Sumber: Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=158

Shaum Syawal

Posted by abi faiz | 9:20 AM | | 0 comments »

Shaum Syawal adalah shaum sunat enam hari selama bulan syawal. Shaum ini boleh dimulai sejak tanggal dua syawal, dilaksanakan bisa secara berturut turut ataupun tidak

Rasulullah swa. bersabada :

"Barang siapa shaum Ramadhan kemudian mengikutinya dengan shaum enam hari pada bulan syawal, maka itulah shaum setahun" (H.R al-Jama'ah kecuali Bukhari dan an Nasai)

Keutamaan Shaum Syawal

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Siapa saja yang berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, ia seperti berpuasa sepanjang masa. (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, an-Nasa’i, Ahmad, ad-Darimi, al-Baihaqi dan Ibn Hibban)

Imam Muslim berkata, hadis ini dituturkan dari Yahya ibn Ayyub, Qutaibah ibn Sa’id dan Ali ibn Hujrin; semuanya dari Ismail. Ibn Ayyub juga berkata, hadis ini dituturkan dari Ismail ibn Ja’far, dari Saad ibn Said ibn Qays, dari Umar ibn Tsabit ibn al-Harits al-Khazraji, dari Abu Ayyub al-Anshari ra., dari Rasulullah saw.

Adapun Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis tersebut dari Ahmad ibn Mani’, dari Abi Muawiyah, dari Saad ibn Said, dari Umar ibn Tsabit, dan dari Abu Ayyub al-Abshari. Imam Tirmidzi berkata, “Hadis Abu Ayyub ini hadis hasan sahih.”

Dalam sanad hadis di atas terdapat satu perawi yang diperselisihkan. Imam at-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli hadis mempermasalahkan Saad ibn Said dari sisi hapalannya.”

Al-Mubarakfuri1 berkomentar: Al-Hafizh Ibn Hajar berkata di dalam At-Taqrîb, “Saad ibn Said ibn Qays ibn Amru al-Anshari, saudaranya Yahya, adalah seorang yang jujur, namun hapalannya buruk, termasuk thabâqât keempat.”

Sekalipun demikian, Imam at-Tirmidzi mensahihkan hadis di atas. Al-Mubarakfuri menjelaskan, “Yang jelas, bahwa pensahihan beliau adalah karena banyaknya jalan periwayatan hadis tersebut. Sudah dijelaskan dalam Muqadimah (mukadimah Tuhfah al-Ahwâdzî, pen.) bahwa adakalanya Imam at-Tirmidzi mensahihkan hadis karena beragamnya jalan periwayatan. Apalagi Saad (dalam hadis di atas) tidak menyendiri (dalam meriwayatkannya), tetapi diikuti oleh Shafwan ibn Sulaim.”

Terdapat banyak riwayat lain yang semakna. Di antaranya riwayat yang dituturkan oleh Abu Hurairah, diriwayatkan oleh al-Bazar, ath-Thabrani dan Abu Nu’aim. Menurut al-Mubarakfuri, riwayat al-Bazar dan ath-Thabrani tersebut adalah hasan. Al-Mundziri sendiri mengatakan, salah satu jalur riwayat al-Bazar adalah sahih. Demikian juga riwayat yang dituturkan oleh Tsauban, mawla Rasulullah saw, diriwayatkan oleh Ibn Majah, an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi, al-Bazar, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah di dalam Shahîh-nya. Juga riwayat yang dituturkan oleh Bara’ ibn Azib yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni.2

Tidur Siang

Posted by abi faiz | 11:00 AM | | 0 comments »

Tidur Siang
Penulis: Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman bintu 'Imran

Masa anak-anak masa penuh aktivitas. Anak-anak seolah tidak berhenti bergerak, dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain. Lebih-lebih bermain, sebuah aktivitas yang menjadi favorit dalam dunia anak. Kadang karena asyik bermain atau melakukan aktivitas yang lain, anak jadi susah diminta tidur siang. Bahkan tidur siang menjadi sesuatu yang menjengkelkan karena memutuskannya dari kegembiraan aktivitas yang dilakukannya.

Ternyata faktor yang menghalangi anak-anak istirahat di siang hari bukan hanya datang dari diri mereka sendiri. Bahkan terkadang, ada orang tua yang justru menghasung anak-anak untuk menyibukkan waktunya dengan segudang kegiatan, tanpa istirahat siang. Les ini, les itu, kegiatan ini dan itu, bersiap menyongsong ini dan itu, sehingga anak tak berhenti dari satu kesibukan ke kesibukan yang lain.

Kita -orang tua- seyogyanya tidak membiarkan anak-anak tanpa tidur siang ataupun sekedar beristirahat di siang hari. Dari sisi kesehatan, tentu hal ini banyak manfaatnya, mengistirahatkan tubuh sejenak dari aktivitas agar bugar kembali untuk menyambut aktivitas berikutnya.

Tidak hanya dari sisi kesehatan tinjauannya. Jauh lebih penting lagi, tidur siang adalah sunnah yang diajarkan dan dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau memerintahkan kita untuk tidur siang dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Anas bin Malik radhiallahu 'anhu (yang artinya):
"Qailulah-lah (istirahat sianglah) kalian, sesungguhnya setan-setan itu tidak pernah istirahat siang (HR Abu Nu'aim dalam Ath-Thibb, dikatakan oleh al-Imam al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1673: isnadnya shahih).
Yang dimaksud dengan qailulah adalah istirahat di tengah hari, walaupun tidak disertai tidur. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits).

Apa yang dilakukan dan dihasung oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini juga diikuti oleh para shahabat. Di antaranya 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu dalam riwayat dari 'Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu (yang artinya):
"Pernah suatu ketika ada orang-orang Quraisy yang duduk di depan pintu Ibnu Mas'ud. Ketika tengah hari, Ibnu Mas'ud mengatakan,'Bangkitlah kalian (untuk istirahat siang, pent.)! Yang tertinggal hanyalah bagian untuk setan.' Kemudian tidaklah 'Umar melewati seorangpun kecuali menyuruhnya bangkit." (HR Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1238, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 939: hasanul isnad).

Dalam riwayat yang lainnya disebutkan (yang artinya):
“Biasanya ‘Umar radhilallahu ‘anhu bila melewati kami pada tengah hari atau mendekati tengah hari mengatakan,’Bangkitlah kalian! Istirahat sianglah! Yang tertinggal menjadi bagian untuk setan.’ (HR Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 1239, dikatakan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 939: hasanul isnad).

Begitulah kebiasaan para shahabat radhiallahu ‘anhuma. Diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ketika datang pengharaman khamr, para shabat sedang duduk-duduk minum khamr di rumah Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu. Dengan segera mereka menuangkan isi bejana khamr, lalu mereka istirahat siang di rumah Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha, istri Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu. Anas radhiallahu ‘anhu menuturkan (yang artinya):
“Tidak ada minuman yang paling disukai penduduk Madinah tatkala diharamkannya khamr, selain (khamr dari) rendaman kurma. Sungguh waktu itu aku sedang menghidangkan minuman itu kepada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berada di rumah Abu Thalhah. Tiba-tiba lewat seseorang, dia mengatakan,’Sesungguhnya khamr telah diharamkan!’ Sama sekali shahabat tidak menanyakan, ‘Kapan?’ atau ‘Kami lihat dulu’. Mereka justru langsung mengatakan,’Wahai Anas, tumpahkan khamr itu!’ Lalu mereka pun beristirahat siang di rumah Ummu Sulaim sampai hari agak dingin, setelah itu mereka mandi. Kemudian Ummu Sulaim memberi mereka minyak wangi. Setelah itu mereka beranjak menuju ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beritanya memang seperti yang dikatakan orang tadi. Maka mereka tak pernah lagi meminumnya setelah itu.” (HR Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 1241, dikatakan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 940: shahihul isnad).

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengabarkan kebiasaan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulunya (yang artinya):
“Mereka (para shahabat) dulu biasa melaksanakan shalat Jum’at, kemudian istirahat siang.” (HR Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 1240, dikatakan oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 939: shahihul isnad).

Jika para shahabat saja bersemangat mengikuti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengajak yang lainnya melakukan kebaikan ini, tentu kita tidak pantas meninggalkannya. Kita melakukan dan kita ajak anak-anak kita untuk melakukannya pula. Manfaat yang besar akan mereka dapatkan; tubuh akan terasa segar untuk melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah Ta’ala, juga menyelisihi kebiasaan setan yang tidak pernah istirahat di siang hari. Lebih penting lagi, membiasakan diri mereka untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol. V/No. 50/1430 H/2009, pada rubrik ‘Permata Hati’, halaman 80-81

Tentang Zakat

Posted by abi faiz | 10:58 AM | | 0 comments »

Zakat adalah ibadah mahdhah yang sejajar dengan sholat. Hal ini berdasarkan kepada ayat-ayat yang senantiasa menggandengkan zakat dengan shalat pada ayat yang sama, tanpa pemisah hukumnya. seperti :

Firman Allah SWT. :

"Dirikanlah oleh kalian shalat keluarkanlah zakat dan rukulah berserta orang-orang yang ruku" (QS. Al Baqarah : 43)

"Dan kami jadikan mereka ketua-ketua yang memimpin manusia dengan perintah kami, dan kami wahyukan kepada mereka perbuatan-perbuatan baik dan mendrikan shalat dan mengeluarkan zakat dan mereka itulah orang-orang yang beribadah kepada kami (QS. Al Anbiya : 73)

"Dan ia jadikan aku orang berbakti dimana saja aku berada dan wajibkan aku sholat dan zakat selama hidupku." (QS. Maryam : 31)

"Dan ia menyuruh ahlinya mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dan adalah ia seorang yang di ridhai tuhannya (QS. Maryam : 55)

dan masih banyak lagi ayat-ayat lainya....
At-Taubah : 5,12 dan 18, Al Haj : 4, Al Maidah : 55, An Naml : 3, Luqman : 4, dsb.)

Sebuah hadis dari Abi Huraerah :

"Sesungguhnya orang arab kampung datang kepada Nabi lalu dia bertanya : Tunjukkan kepada ku amalan yang apabila aku mengamalkannya aku masuk surga

Rasulullah menjawab : Engkau beribadah kepada Allah, tidak menyekutukannya sedikitpun dan engkau mendirikan shalat maktubah, dan engkau tunaikan zakat mafrudhah dan engkau melaksanakan shaum Ramadhan.

Ia berkata : Demi Allah, aku tidak akan menambah ini

dan ketika ia berlalu Rasulullah saw. berkata : Siapa yang merasa senang melihat seorang laki laki dari ahli surga lihatlah laki-laki ini (HR. Al Bukhari)

Berbuat Baik Kepada Binatang

Posted by abi faiz | 10:55 AM | | 0 comments »

Berbuat Baik Kepada Binatang

Dari Abdullah bin Ja'far,
أردفني رسول الله صلى الله عليه و سلم خلفه ذات يوم فأسر إلي حديثاً لا أحدث به أحدًا من الناس وكان أحب ما استتربه رسول الله صلى الله عليه و سلم لحاجته هدفاً أو حائش نخل قال فد خل حائطا لرجل من الأنصار فإذا جمل فلما رأى النبي صلى الله عليه و سلم حن وذرفت عيناه فأتاه النبي صلى الله عليه و سلم فمسح ذفراه فسكت فقال من رب هذا الجمل؟ لمن هذا الجمل؟ فجاء فتى من الأنصار فقال لي يا رسول الله فقال أفلا تتقي الله في هذه البهيمة التي ملكك الله إياها فإنه شكا إلي أنك تجيعه و تدئبه

"Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memboncengkanku di belakang beliau, lalu beliau merahasiakan sebuah hadits untukku yang tidak akan aku ceritakan kepada seorangpun. Tempat tertutup yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk membuang hajat adalah tempat yang tinggi atau pohon kurma yang rimbun. Berkata Abdullah bin Ja'far,"Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke sebuah kebun milik orang Anshar. Ternyata di situ terdapat seekor unta jantan dan ketika unta tersebut melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, maka ia merintih dan kedua matanya berlinang air mata, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mendekatinya dan mengusap tengkuknya sehingga unta tersebut diam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan,"Siapa pemilik unta ini? Milik siapa unta ini?" Akhirnya ada seorang pemuda dari kalangan Anshar mengatakan,"Milikku wahai Rasulullah!" Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,"Tidakkah engkau bertaqwa kepada Allah dalam memperlakukan binatang ini yang telah Allah kuasakan kepadamu?! Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku, bahwasanya engkau telah membuatnya lapar dan capek." (HR Abu Dawud 2549 dan Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Sumber:
Buku berjudul: الموعظة الحسنة في لأجلاق الحسنة
Edisi Indonesia: Berhiaslah Dengan Akhlak Mulia
Penulis: Asy-Syaikh Abdul Malik ar-Ramadhani
Penerjemah: Abu Luqman Abdullah
Muraja'ah: al-Ustadz Abdul Mu'thi al-Maidani
Penerbit: Al-Husna (0274) 6821151
Halaman 83-84, cetakan 1

Kumpulan Sholawat 2

Posted by abi faiz | 12:35 AM | 0 comments »

Sholawat Kepada Nabi Muhammmad S.A.W ( Lanj 2 )


Selain itu, beliau juga suka memakai shalawat lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Al-Muwattha'. Shalawat di atas juga diriwayatkan oleh Abû Dâud, Al-Turmudzî, Al-Nasâ'i, dan Al-Bayhaqi dari Ibn Mas'ûd, dengan ditambah lafal Sayyidinâ untuk Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.
Tambahan lafal sayyidina boleh jadi sebagai adab dari beliau atau mungkin pula mengikuti ucapan Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya yang mengatakan:


Artinya: "Berdirilah kalain untuk menyebut sayyid (penghulu) kalian! "
Rasulullah Saw. juga bersabda, ditunjukan kepada Sa'ad bin Mu'adz:



Artinya: "Aku adalah sayyid (penghulu) manusia dan tidak sombong".
Dalam hal ini Imam Syâfi'î r.a., telah mengamalkan shalawat yang dianggap oleh beliau paling sahih sanadnya.




Artinya: "Semoga Allah Swt. Mencurahkan shalawat kepada Muhammad "


Penjelasan:
Imam Al-Sya'rânî menuturkan bahwa Nabi Saw. Bersabda:
"Barangsiapa yang membaca shalawat ini, berarti ia telah membukakan bagi dirinya tujuh puluh pintu rahmat, dan ditanamkan Allah kecintaan kepada dirinya dalam hati umat manusia."
Diceritakan, seorang penduduk negeri Syam datang meng-hadap Rasulullah Saw seraya berkata, "Ya Rasulullah, ayah saya sudah sangat tua, namun beliau ingin sekali melihat Anda."
Rasulullah menjawab, "Bawa dia kemari!"
Orang itu berkata, "la buta, tidak bisa melihat."
Rasulullah lalu bersabda, "Katakanlah kepadanya supaya ia mengucapkan Shallallâhu 'alâ Muhammdin selama tujuh minggu setiap malam. Semoga ia akan melihatku dalam mimpi dan dapat meriwayatkan hadis dariku."
Anjuran Rasulullah itu ditruti oleh orang tersebut. Benar saja, ternyata ia bisa bermimpi melihat Rasulullah Saw. Serta meriwayatkan hadis dari beliau.



Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan Keluarganya."


Penjelasan:
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: "Barangsiapa yang meng-ucapkan Allâhumma shalli 'alâ Muhammadin wa Sallim ketika ia berdiri, dosa-dosanya akan diampuni sebelum ia duduk. Barangsiapa yang mengucapkannya ketika duduk, dosa-dosanya akan diampuni sebelum ia berdiri. "

Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah Shalawat atas Muhammad, hamba dan nabi-Mu, nabi yang ummi."


Penjelasan :
Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Ihyâ' mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan shalawat atasku pada malam Jumat se-banyak delapan puluh kali, Allah akan mepgampuni dosa-dosanya selama delapan puluh tahun."
Kemudian ditanyakan, "Ya Rasulullah, bagaimana cara memberi shalawat kepadamu itu?"
Rasulullah menjawab, 'Allâhumma shalli 'alâ Muhamadin 'abdika wa Nabiyyika al-Nabiyyi al-Ummî."
Diriwayatkan bahwa, barangsiapa yang membacanya setiap hari dan setip malam sebanyak 500 kali, niscaya dia tidak akan mati sebelum berjumpa dengan Nabi Saw. dalam keadaan sadar.




Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah sealawat atas Muham-mad dan kelurga Muuhammad sehingga tidak tersisa lagi satu shalawat pun; sayangilah Muhammad dan keluarga Muhammad sehingga tidak lagi tersisa satu rahmatpun; berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad sehingga tidak lagi tersisa satu berkahpun; dan limpahkanlah kese-jahteraan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sehingga tidak lagi tersisa satu kesejahteraan pun."


Penjelasan:
Al-Fasi berkata, "Shalawat ini disebutkan oleh Jabar dari sahabat Ibn 'Umar r.a. Disebutkannya pula keutamaan yang besar dari shalawat ini dan kebajikan bagi seorang laki-laki yang mengucapakannya dihadapan nabi Saw."

Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, dan tempatkanlah ia ditempat yang dekat dengan-Mu di Hari Kiamat."

Penjelasan :
Shalawat ini dikemukakan oleh Al-Thabrânî, Ahmad, Al-Bazzar, dan Ibn 'Ashim dari sahabat Ruwayfi bin Tsabit al-Anshari. Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang mengucapkan shalawat atasku dengan shalawat ini, berarti ia berhak mendapatkan syafa'atku."



Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada ruh Muhammad di alam ruh, kepada jasadnya di alam jasad, dan kepada kuburnya di alam kubur."


Penjelasan :
Imam Al-Sya'rânî menutrkan bahwa Nabi Saw. telah ber-sabda, "Barangsiapa yang mengucapkan shalawat atasku dengan cara yang dikemukakan dalam shalawat ini, ia akan melihatku di alam mimpi. Barangsiapa yang me-lihatku di alam mimpinya, ia akan melihatku di Hari Kiamat. Baranggiapa yang melihatku di Hari Kiamat, aku akan memberinya syafaat. Barangsiapa yang aku beri syafaat, niscaya ia akan minum dari telagaku dan di-haramkan jasadnya oleh Allah dari neraka.


Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Mu-hammad dan kepada keluarga Muhammad, di kalangan orang-orang dulu maupun orang-orang setelahnya, serta di alam arwah sampai Hari Kiamat."


Penjelasan :
Imam Al-Sya'rânî menuturkan bahwa seorang laki-laki menghadap Rasulullah Saw. ketika beliau sedang duduk di dalam masjid. Orang itu berkata, Assalâmu 'alaykum, wahai ahli kemuliaan!"
Orang itu lalu didudukkan oleh Nabi Saw di tengah-tengah. yaitu antara beliau dan Abu Bakar r.a. Orang-orang yang hadir ketika itu menjadi heran menyaksikan hal itu hingga Nabi Saw. menjelaskan. "Jibril a.s. telah datang kepadaku memberitahukan bahwa orang ini telah memberi shalawat kepadaku dengan shalawat yang belum pemah dibaca oleh seorang pun sebelumnya."
Lalu Abu Bakar bertanya. "Bagaimana shalawatnya ya Rasulullah? Kemudian Rasulullah Saw. menyebutkan sha-lawat tersebut di atas.


Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad-hamba-Mu, Nabi-Mu, dan Rasul-Mu, Nabi yang ummi; juga atas keluarganya, isteri-isterinya, dan ketu-runannya, sebanyak jumlah makhluk-Mu, keridhaan diri-Mu, hiasan Arsy-Mu, dan tinta kalimat-Mu."
Penjelasan:
Al-Hafizh Al-Sakhâwî menuturkan, seandainya seseorang bersumpah bahwa ia akan mengucapkan shalawat yang paling utama, maka shalawat ini telah membebaskan ia dari sumpahnya itu.
Pen-syarah kitab Dalâ'il mengatakan, bahwa lafal shalawat ini diambil dari hadis Ummul Mukminin. Juwairiyah.





Artinya: "Ya Allah, limpahkilnlah shalawat atas junjunan kami, Muhammad, dengan suatu shalawat yang menye-babkan kami selamat dari semua ketakutan dan malapetaka, yang menyebabkan Engkau menunaikan semua hajat kami, yang menyebabkan Engkau me-nyucikan kami dari semua kejahatan, yang menyebabkan Engkau mengangkat kami ke derajat yang tinggi di sisi-Mu, dan yang menyebabkan Engkau menyampaian semua cita-cita kami berupa kebaikan-kebakan dunia dan akhirat."

Penjelasan:
Shalawat di atas disebutkan di dalam kitab Dalâ'il. Dalam syarah kitab tersebut disebutkan riwayat dari Hasan bin 'Ali Al-Aswânî. Ia berkata, "Barangsiapa yang membaca shalawat ini dalarn setiap perkara penting atau bencana sebanyak seribu kali, niscaya Allah akan melepaskan bencana itu darinya, dan menyampaikan apa yang diinginkannya."




Artinya: "Ya Allah limpahkanlah shalawat atas junjunan kami, Muhammad-- samudera cahaya-Mu, tambang ra-hasia-Mu, singgasana kerajaan-Mu, imam hadrat-Mu, bingkai kerajaan-Mu, perbendaharaan rahmat-Mu, dan jalan syariat-Mu,yang mendapat kelezatan dengan tauhid-Mu, insan yang menjadi sebab segala yang maujud, penghulu para makhluk-Mu, yang memperoleh pancaran sinar cahaya-Mu- dengan shalawat yang kekal sekekal diri-Mu, yang tetap sebagaimana tetap-Mu, dan yang tidak ada akhir di balik ilmu-Mu; juga dengan shalawat, yang meridhakan-Mu dan meridhakannya serta meridhakan kami dengannya, duhai Tuhan semesta alam."


Penjelasan :
Shalawat ini dinamakan shalawat 'Cahaya Kiamat'. Sha-lawat ini disebut demikian karena banyaknya cahaya yang akan diperoleh oleh orang yang membacanya pada Hari Kiamat kelak."
Sayyid Ahmad Al-Shâwî dan yang lainnya mengatakan, shalawat ini saya dapatkan tertulis di atas sebongkah batu dengan tulisan qudrati.
Di dalam syarah atas kitab Dalâ'il disebutkan, sebagian pemuka para wali mengatakan, bahwa shalawat ini berbanding dengan 14.000 shalawat lainnya.

MAHABBATURROSUUL S.A.W

Posted by abi faiz | 8:13 PM | 1 comments »

Gema Sholawat dan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan Inspirator buat Umat Rosululloh SAW, Cinta Kepada Nabi Muhammad SAW merupakan Wujud dari Interprestasi para Umatnya

Dikisahkan Pada Waktu masa Seorang Guru Bertanya Kepada Murid Siapa Yang lebih Mulia Dimata Allah Murid Atau Guru

Dengan Serentak Murid Menjawab Guru... Majelis itu Bergemurum atas Jawaban para Murid ..
Sang Guru hanya Senyum Simpul dan Memberi jawaban Yaitu Murid ..

Murid Bertanya Kenapa Kami lebih Mulia .. Bukan kah Engkau wahai Guru yang menurunkan Ilmu kepada Kami , tanpa ada rasa Pamrih , tanpa ada rasa ingin mendapatkan sesuatu , hal ini engkau lakukan hanya semata kecintaaan engkau kepada Allah dan Rosulnya

Sang Guru pun Menjawab Betul Tapi memberikan ilmu kepada murid adalah Merupakan salah satu kewajiban seorang guru, jika tidak maka ini akan menjadi salah satu penyebab amal ibadah ku akan tetapi Seorang Murid Harus Meninggalkan Sesuatu yang dia sukai atau yang dia cintai, contoh murid harus mencari guru , untuk mendapatkan ilmu tersebut murid itu harus meninggalkan rumah, Keluarga, dan teman, serta meluangkan waktu yang banyak

Salah Satu Hadist juga Mengatakan bahwa Mencari Majelis Ilmu itu lebih Baik dari pada Mejelis ibadah .


Cari Kisah diatas dapat diambil beberapa point yang bisa kita dapat Bahwa Ilmu Itu sangat Mulia , dan satu lagi yang perlu kita ingat Bahwa Ayat Pertama Al Qur'an Adalah Iqra yang Artinya Baca , Jadi Allah Menyuruh Umat Manuasia Untuk Membaca Mencari Ilmu Karena Kebodohan Itu Bukan Milik Umat Islam

Ingin
Selamat
Lakukan
Ajaran
Muhammad SAW

Hadirilah & Syi'arkanlah

Gema Sholawat Dan Maulid Nabi
( Gemuruh Simtudduror )
Bersama Majelis
MAHABBATURROSUUL S.A.W
Pimp Al Habib Hamid Bin Abdullah Al Kaff



Pada Hari / Tanggal : Sabtu Malam Minggi , 16 Mei 2009
Pukul : 19.30 WIB ( Ba'da Isya )
Tempat : Majelis Dzikir & Sholawat Nur Asy Syabaab
Jl Asy Syari'iyah Rt 005/03 No 7 Kel Cilangkap
Kec Cipayung Jakarta Timur



Insya Allah Dihadiri Oleh Al Habib Ahmad Fahmy Bin Abubakar Al' Aydrus

Ajak Keluarga , Kerabat dan Sahabat Serta Jama'ah untuk membuktikan wujud cinta kita dengan menghadiri Majelis MAHABBATURROSUUL S.A.W

Kumpulan Shalawat 1

Posted by abi faiz | 8:03 PM | 0 comments »

Shalawat Kepada Nabi Muhammad SAW

Dalam berbagai sumber, baik hadis maupun keterangan para ulama yang termuat dalam kitab-kitab kuning (istilah santri bagi kitab yang kertasnya berwama kuning) banyak sekali lafazh-lafazh shalawat. Seperti yang terhimpun dalam kitab Muktashar fî Ma'ani Asma Allah al-Husna, dalam bab Ash-Shalah 'ala al-Nabi, karangan Al-Ustadz Mahmud al-Sami, dan kitab Afdhalu al-Shalawati 'ala Sayyidi al-Sadati, karangan Yusuf bin Isma'il al-Nabhani. Untuk itu dibawah ini adalah sebagian lafazh-lafazh shalawat tersebut baik yang bersumber dari hadis maupun kitab-kitab, berikut penjelasannya.

Artinya: "Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakan oleh-Mu akan Muhammad, Nabi yang tidak pandai menulis dan membaca. Dan muliakan pulalah kiranya akan isterinya, ibu segala orang yang mukmin, akan keturunannya dan segala ahli rumahnya, sebagaimana engkau telah memuliakan Ibrahim dan keluarga Ibrahim diserata alam. Bahwasanya Engkau, wahai Tuhanku, sangat terpuzi dan sangat mulia." (HR. Muslim dan Abu Daud dari Abu Hurairah).

Artinya: "Ya Allah, wahai Tuhanku muliakan oleh-Mu akan Muhammad dan akan keluargaya sebagaimana Engkau memuliakan keluarga Ibrahim dan berilah berkat olehmu kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim, bahwasanya Engkau sangat terpuji lagi sangat mulia diserata alam." (HR.Muslim dan AbiMas'ud).

Artinya: "Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakanlah oleh-Mu akan Muhammad dan akan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memuliakan keluarga Ibrahim bahwasanya Engkau sangat terpuji dan sangat mulia. Ya Allah, wahai Tuhanku, berikan berkat oleh-Mu akan Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi berkat kepada Ibrahim; bahwasanya Engkau sangat terpuji dan sangat mulia." (HR. Bukhari dari Abu Sa'id, Ka'ab Ibn 'Ujrah).

Artinya: "Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakanlah oleh-Mu akan Muhammad, hamba-Mu dan Rasul-Mu, Sebagaimana Engkau telah memuliakan Ibrahim; dan berilah berkat oleh-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi berkat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim." (HR. Al-Bukhari dan Abu Sa'id).


Artinya: "Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakanlah oleh-Mu akan Muhammad, isteri-isterinya dan keturunannya, sebagajmana Engkau telah memuliakan keluarga Ibrahim. Dan beri berkatlah oleh-Mu kepadq Muhammad dan isteri-isterinya serta keturunan-keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan berkat kepada keluarga Ibrahim: bahwasanya Engkau sungguh sangat terpuji dan amat mulia." (HR. Al-Bukhari dari Abu Hamid Al-Sa'idi).




Berkata Al-Nawawi dalam Al-Adzkar: "lafazh sha-lawat yang paling utama dibaca, ialah lafazh shalawat yang lengkap ini.



Artinya: "Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakanlah oleh-Mu akan Muhammad hamba-Mu dan pesuruh-Mu, Nabi yang ummi dan muliakanlah oleh-Mu akan keluarga Muhammad, jsleri-isterjnya dan keturunannya sebagajmana Engkau telah memuliakan Ibrahim dan keluarganya; dan berilah berkat oleh-Mu akan Muhammad, Nabi yang ummi dan akan keluarganya, isteri-isterinya dan keturunannya, se-bagaimana Engkau telah memberikan berkat kepada Ibrahim dan keluarganya, diserata alam, hanya engkau sajalah yang sangat terpuji dan sangat mulia."

Lafazh-lafazh shalawat yang ringkas, ialah lafazh-lafazh yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Nasa'i, yaitu :

Artinya: "Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakanlah oleh-Mu akan Muhammad dan akan keluarganya." (HR. Al-Nasa'i dari Zaid ibn Kharijah).



Artinya: "Wahai Tuhanku, limpahkanlah kiranya shalawat-shalawat-Mu dan rahmat-Mu serta berkat-Mu atas peng-hulu segala Rasul, ikutan segala orang yang taqwa, pe-nutup semua Nabi, yaitu: Muhammad, hamba-Mu dan rasul-Mu, imam segala kebajikan, pemimpin kebaikan dan utusan pembawa rahmat. Wahai Tuhanku, tempatkanlah dia pada suatu maqam yang dirindukannya oleh orang yang dahulu." (HR. Ibnu Majah dari 'Abdullah Ibn Mas'ud).

Berkata Al-Sayuthi dalam Al-Hirz al-Ma'ânî: "Saya telah membaca keterangan Al-Subkî yang diterimanya dari ayahnya di dalam Al-Thabaqat, katanya: Sebaik-baiknya shalawat untuk dibaca dalam bershalawat, ialah bunyi shalawat yang dibaca di dalam tasyahhud (yang diriwayat-kan oleh Bukhari dan Muslim). Maka barangsiapa mem-bacanya, dipandanglah ia telah bershalawat dengan sem-purna, dan barangsiapa membaca selainnya, maka mereka tetap berada dalam keraguan, karena bunyi lafazh-lafazh yang diriwayatkan oleh Bukhârî Muslim itu, adalah lafazh shalawat yang sering diajar oleh Nabi sendiri dan yang sering disuruh supaya kita membacanya."